KATEGORI MANUSIA

 

Sebelumnya, hasil dari membaca tulisan ini mungkin tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidup kita. Sebaliknya, mungkin setelah membaca tulisan ini, akan muncul pertanyaan yang tentunya bukan di sini jawabannya. Jadi, di tulisan ini ada bahasan yang sangat mendasar, yaitu kemampuan manusia untuk mengategorisasi sebuah entitas. Kita perlu bersyukur karena kemampuan ini tidak dimiliki oleh makhluk lain dari ciptaan Sang Maha Kuasa. Dari sini, Lakoff (1987), seorang peneliti linguistik pernah mengatakan bahwa kategorisasi adalah proses kognitif manusia yang membedakannya dengan mahkluk lain. Kemampuan ini simple banget bagi kita, seperti mengelempokkan benda-benda yang digunakan untuk menulis atau benda untuk memasak, membedakan buah dan sayuran, hewan darat dan hewan laut, laki-laki dan perempuan, serta dapat pula membedakan mana yang baik mana yang buruk. Akan tetapi kalau berbicara masalah baik buruk, cantik-tidak cantik, ganteng-tidak ganteng, pastilah yang muncul adalah persoalan realtivitas. *Sampai di sini saya mulai kesal dengan Lakoff karena kategorisasinya jadi tidak absolut*.

            Bahkan, beberapa kategori yang sudah diakui dunia pada umumnya juga memiliki keidealan tersendiri bagi sekelompok manusia, seperti mengategorikan jumlah hari dalam satu minggu, jumlah hari dalam satu bulan, jumlah minggu dalam setahun. Kalau yang kita kenal selama ini dalam satu minggu ada tujuh (7) hari, masyarakat Jawa menandai satu minggu dengan lima (5) hari. di Arab dalam satu bulan jumlah hari berjumlah tidak lebih dari 30 hari. Pantas saja Lakoff (1987) menambahkan bahwa dalam pikiran manusia mungkin mengidealkan sesuatu dengan tidak terbatas. Hal itu karena setiap individu atau kelompok masyarakat dapat memiliki definisi suatu konsep yang diidealkan berbeda-beda dan hal ini memunculkan efek tipikalitas (typicality effects). *Modyar*

            Di paragraf ini, saya tidak akan melanjutkan penjelasan Lakoff tentang efek tipikalitas. Hal yang menjadi perhatian selama ini adalah apakah yang saya anggap baik merupakan hal yang baik juga bagi orang lain? atau apakah saya melakukan hal yang baik (menurut saya), juga baik menurut orang lain yang mengetahuinya, atau (lagi) saya membantu orang lain (menurut saya hal ini baik), adalah hal yang sudah baik dan benar menurut orang yang saya tolong. Contohnya mungkin seperti ini, misalnya, seorang ibu mengambil handphone anaknya yang berusia 13 tahun dengan alasan niat yang baik yaitu ingin anaknya fokus belajar dan sukses karena si anak kecanduan handphone.. Sebaliknya si anak menganggap ibunya jahat karena mengambil handphonenya sehingga ia memilih untuk bermain bersama temannya hingga malam.*retorika sekali ya*.   

            Kalau saya jadi Ibu, saya meresa sudah benar. Hal serupa mungkin juga terjadi apabila saya jadi Anak, saya merasa tepat melakukannya karena perlakuan ibunya. Ini studi kasus retorika yang tidak akan menemukan siapa yang paling benar karena semuanya hanya masalah sudut padang. Dari sini kita mengetahui bahwa dalam perbuatan yang kita anggap baik belum tentu baik di mata orang lain, bisa juga Karena niatnya yang sudah baik tetapi caranya yang tidak baik. Tidak ada logika dalam masalah ini. Setiap orang punya sudut pandangnya masing-masing. Kita perlu memahami apa yang saling dirasakan.

            Terakhir, sebelum menutup tulisan ini, semua yang kita anggap benar belum tentu baik di mata orang lain tetapi semoga perbuatan itu dicatat sebagai niat baik di sisi Allah sehingga Allah mudahkan. Setelah berpikir, berbicara, dan bertindak, rasanya memang perlu untuk bermuhasabah, intropeksi diri. Tujuannya, mempertajam rasa. Terakhir banget, mengutip dari salah satu pesan ulama, ”berikan sedikit perasaan pada akalmu agar ia lurus dan berikan sedikit akal pada perasaanmu agar ia lembut.” 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.